Ukhuwwah Hitam Pekat
Dunia
terlalu cepat menambah usia, ku perhatikan mereka semakin dewasa semenjak
perpisahan itu. Ya, sejak perpisahan yang haru tanpa air mata.
Mereka
yang mendengarkanku membaca ayat suci Al-Qur'an
Di tengah kesibukan lain yang mencuri perhatian
Mereka yang memberikanku senyuman tulus saat aku mengakhirinya
Lalu menyatukan satu lututnya pada satu lututku
Saat itu matanya beradu dan tertutup, hitam
Di tengah kesibukan lain yang mencuri perhatian
Mereka yang memberikanku senyuman tulus saat aku mengakhirinya
Lalu menyatukan satu lututnya pada satu lututku
Saat itu matanya beradu dan tertutup, hitam
Aku masih ingat ketika lingkaran
cahaya itu dibentuk pertama kali akibat kecelakaan yang direncanakan. Allah
menjodohkan kami dengan cara yang unik, dengan pandangan yang tidak kasat, dan
dengan ujian yang menghantam iman kami.
Jumlah kami tak banyak, ada 9
kurcaci shalihah dan 1 Ibu Bidadari. Aku termasuk orang yang sulit mengingat
dalam jangka panjang. Saat ku tatap satu per satu wajah mereka, aku khawatir
akan lupa di masa depan. Namun saat itu aku berhenti di wajah seseorang yang
tak pernah berhenti tersenyum, sejak saat itulah aku paham bahwa aku bisa
mengingat mereka karena perbedaan yang tulus dipancarkan.
Semakin hari, aku merasa kami
semakin mirip macam anak kandung dalam satu ibu dan ayah. Aku mudah berkaca
tentang diriku pada wujud mereka. Beberapa kali aku terkejut tentang banyak
makna sebuah persaudaraan. Bahkan rasa bosan, benci, kesal, prasangka buruk,
dendam, dan lain halnya tak pernah aku rasakan. Bahkan ketika rasa itu hampir
muncul, aku selalu membunuhnya sampai akar, lalu melupakannya seperti orang
yang hilang ingatan.
Terlihat ada yang mendominasi,
wajar. Terlihat ada yang cari sensasi, wajar. Terlihat ada yang tak ambil
pusing, wajar.
Aku mulai paham tentang pentingnya
sebuah peran. Bahwa aku ada di mana dan untuk apa. Kami menulis banyak hal di
kenangan yang sama. Kami bercerita seolah dunia hanya milik kami. Indah. Wangi.
Berjuta rasa!
Lidahku kelu untuk mengatakan bahwa aku
mulai mencintai mereka. Bukan karena aku sulit dalam bicara. Hanya saja,
kupikir, tunas-tunas harapan di sana
sebanding dengan buntalan kekecewaan..
Hampir
setiap orang terlalu senang dalam setiap pertemuan, perjumpaan, perkenalan, dan
hal yang serupa. Tapi mereka lupa terhadap risiko yang kemungkinan terjadi dan
tidak ada jaminan yang membayar itu semua secara pasti kecuali izin Allah.
Kebanyakan dari mereka akan trauma karena terjadinya sebuah perpisahan.
1
tahun berjalan, seperti hubungan pada umumnya, mulai banyak pemikiran-pemikiran
ekspektasi yang terlalu jauh. Positifnya, kami mempunyai mimpi yang beralur dan
janji konyol yang terpaksa disepakati. Negatifnya, kami terlalu banyak
beralasan untuk tidak terlalu jauh dalam mencintai satu sama lain.
Setiap
kesalahan akan terlunasi dengan ucapan minta maaf, penyesalan, dan janji tidak
akan mengulangi. Walau aku yakin kesalahan yang ku buat tidak akan bisa
terhapus dari memori mereka, tapi yang sangat kuhargai adalah mereka bisa
menerima itu sebagai tolak ukur tingkat pekatnya persaudaraan kami.
Maksiat
yang menenggelamkanku pada lamunan maya
Memaksaku untuk melontarkan kalimat yang sederhana
Tapi berakibat penyesalan tak kurang dari waktunya
Karena apa?
Karena ketulusan itu tidak pernah bisa berpura-pura
Karena satu kebaikan itu akan jadi pintu kebaikan yang lain
Karena adanya persaudaraan yang didasari cinta itu
Memaksaku untuk melontarkan kalimat yang sederhana
Tapi berakibat penyesalan tak kurang dari waktunya
Karena apa?
Karena ketulusan itu tidak pernah bisa berpura-pura
Karena satu kebaikan itu akan jadi pintu kebaikan yang lain
Karena adanya persaudaraan yang didasari cinta itu
3 tahun berjalan adalah fase
tersulit dalam masa perkembangan kami. Kami dihadapi dengan pilihan yang tidak
bisa terhindar dari rasa egois yang menguasai jiwa. Tidak sampai pada melayangnya
nyawa, tapi beberapa dari kami, jadi hilang hati.
Gelap
pekat dalam balut gumpalan air pembekuan
Percikan kekuningan yang indah di pelupuk mata
Semilir angin menyekat bongkahan kesibukan duniawi
Hening, sekejap semuanya hening
Percikan kekuningan yang indah di pelupuk mata
Semilir angin menyekat bongkahan kesibukan duniawi
Hening, sekejap semuanya hening
Cahaya yang selama ini menerangi
mataku untuk bersemayam di sisi mereka, kini mulai memudar. Tersisa bayangan,
yang juga perlahan mengikuti si empunya. Mereka bukan orang yang egois, aku
percaya. Mereka semua orang baik. Mereka pergi untuk kembali, percayalah..
Ku paksa untuk bisa melambaikan
tangan, tanda mengizinkan mereka pergi. Satu per satu. Menikmati rasa yang tak
karuan, termasuk khawatir terhadap diriku yang ternyata hilang akan sandaran
punggung. Aku tersenyum dengan yakin bahwa jarak bukanlah alasan untuk kami
berhenti bersaudara..
Tersisa 5, termasuk aku. Ibu
Bidadari masih selalu menemani walau dengan wujud yang berbeda. Aku mulai fokus
pada peradaban baru. Semangat baru, tujuan baru, pandangan baru, pengalaman
baru, dan lain yang juga serba baru menjadi alasan kami untuk terus menyempurnakan
lingkaran cahaya. Kami tidak akan membiarkan lingkaran besar kemarin menjadi
setengah lingkaran. Tidak. Kami akan membuat lingkaran kecil, tapi tetap utuh.
Utuh.
Kadang, ada kalanya kami dituntut
dewasa oleh Ibu Bidadari. Entah itu mencari “makan” sendiri. Entah itu menyelesaikan
“benang kusut” sendiri. Juga, entah itu memutuskan “perjanjian” sendiri. Kata
orang, bersama kita bisa. Kata orang juga, together
to be better. Semua itu benar!
Hanya, ternyata tak semua orang
memiliki tafsiran yang sama mengenai kebersamaan. Aku sedikit menghela napas
ketika salah satu dari kami mulai murung. Mulai mencari “makan”, menyelesaikan
“benang kusut”, dan memutuskan “perjanjian” dengan tangannya sendiri. Tidak
lagi dengan tangan kami.
Tidak salah. Aku tau itu. Mungkin
aku yang salah tafsir perkataan Ibu Bidadari. Aku yang terlalu percaya diri
tentang maksud sendiri. Ku pikir sendiri di sini adalah bersama kurcaci
shalihah. Namun yang ku lihat duluan dari yang lain adalah benar-benar
perorangan. Setelah itu aku jadi merasa tertantang untuk menunaikan tuntutan
Ibu Bidadari.
Saya harap implikasi dari makna dewasa yang aku ragu itu bukan
mematahkan satu lidi dari ikatan sapu lidi, melainkan bersamangat dan selalu
bergerak bersama lidi yang lain agar terus bermanfaat, sekalipun lidi itu tidak
bertuan..
Bahagia itu banyak rasa. Sungguh, aku
bahagia bersama kalian, sampai detik ini. Aku bersyukur telah mengenal kalian
dengan perbedaan-perbedaan itu. Aku semakin yakin bahwa Allah telah menyiapkan
surga sebagai tempat kita reuni yang tak bertepi..
Kesalahan
kita setiap hari adalah makanan lezat kita sebagai pupuk yang akan menumbuhkan
cinta di surga kecil kita. Aku mencintaimu beserta jajaran kesalahanmu..
Ada hal yang masih ingin terus aku
lakukan demi surga kita kelak. Cara memperkuat persaudaraan kita yang terpisah
jarak namun tetap dirasakan kehadirannya, yaitu dengan membayangkan wajah-wajah
shalihah saat membaca do’a rabithah dan memberi hadiah, baik berupa fisik
maupun non-fisik untuk kalian.
Ukhuwwah hitam pekat. Karena tak
selamanya hitam itu buruk, hanya saja ia sederhana dalam kegelapan, setia oleh
kebersamaan, dan sangat menghargai sebuah cahaya. Ini warnaku di penghujung
tulisanku. Kenangan itu akan terus berjalan, takkan pernah ku jual.
0 komentar:
Posting Komentar
Bicaralah :D